28 Oktober 2008

Melumat Pinangan

BERJALAN dengan membawa nampan yang berisi bingkisan dalam iringan keluarga besar peminang membuat jantung saya berdebar. Berdebar karena inilah kali pertama saya ikut serta dalam acara meminang seorang gadis, yang kedua saya belum pernah dipinang, ketiga perbedaan budaya membuat saya makin berdebar dan waspada.

Sedikit tentang meminang menurut http://culture.melayuonline.com , istilah meminang digunakan karena buah pinang adalah bahan utama -selain sirih, kapur, tembakau- yang dibawa saat acara meminang. Buah pinang adalah lambang untuk laki-laki dan sirih adalah lambang untuk perempuan. Diharapkan seperti saat makan sirih, akan terasa tidak lengkap tanpa pinang begitu juga sebaliknya, artinya diharapkan laki-laki dan perempuan (baca: suami dan istri) saling melengkapi, bersatu dan tidak dapat dipisahkan.

Kembali ke pinangan malam itu. Memasuki rumah si gadis, satu persatu kami meletakkan antaran, dimulai dari pinang dkk, rajangan pandan dan bunga, kue, kemudian beberapa bingkisan. Kemudian wakil dari masing-masing pihak duduk berhadapan, dan dimulailah acara mendebarkan itu.
Acara pinangan ini menggunakan tradisi Melayu, pihak perempuan diwakili oleh seorang bapak dari suku Jawa, pihak laki-laki diwakili oleh seorang Dayak yang sudah naik haji dan lama tinggal di Tanjung Pinang.
Terjadilah kekonyolan-kekonyolan. Haji Dayak melantur entah kemana, dia malah menceritakan biografinya, Bapak Jawa dengan terkagum-kagum mendegarnya kisah hidup pak Haji. Saat masih terkagum-kagum, Haji Dayak memberikan pinang dan kemudian disambut dan dilumat oleh Bapak Jawa. Ya Bapak Jawa sebagai wakil perempuan telah melumat pinangan dari pihak laki-laki.
Tahukah bahwa ketika wakil pihak perempuan menerima dan melumat pinang menandakan bahwa pinangan telah diterima? Hehehe..trik Haji Dayak ini sangat jitu, memanfaatkan ketidakpahaman seorang Jawa tentang tradisi pinangan Melayu:)
Setelah Bapak Jawa melumat pinangan, orang-orang berucap Alhamdulillah, dan dia pun kebingungan, kgkgkg...:)
Belum usai Bapak Jawa melumat pinangan, tanpa diminta seorang ibu bergerak ke tengah ruangan mengambil sirih, mengoleskan kapur, menambah pinang dan memberikannya pada saya, "Ini Ayu, supaya cepet nyusul". Dengan terkejut, saya terima pinang sirih itu kemudian saya lumat sambil menebarkan senyum ke penjuru ruangan, "Oh... semoga saja Bu" dan serempak mereka mengucapkan "Amin..."
Ternyata tidak berhenti pada melumat, seorang ibu kemudian mengambil nampan berisi rajangan pandan dan bunga, kemudian memberikan segengam rajangan itu kepada saya, "Ini juga Yu, supaya komplit, supaya cepet nyusul".
Oh ibu-ibu...

Malam itu saya melumat pinangan dengan penuh harap:)

27 Oktober 2008

Ke Duriangkang; Ke Hutan, Ke Danau, Ke Belukar dan Kehangatan

KEMARIN saya bersepeda ke Duriangkang. Mengingat banyaknya jalur-jalur offroad yang bisa dinikmati pesepeda di dalam kawasan Duriangkang, komunitas bersepeda Batam biasa menyebut jalur yang saya lalui kemarin dengan jalur Duriangkang 1 (mungkin penomoran dilakukan untuk memudahkan dalam mengingat rute).
Duriangkang 1 menurut saya adalah jalur bersepeda yang menyenangkan, tracknya tidak terlalu melelahkan, ada beberapa tanjakan serta downhill tapi tidak sampai menguras tenaga. Yang mempesona adalah di Duriangkang 1 saya menemukan alam yang saya rindukan, pada satu lokasi saya serasa pergi (dan menikmati) ke tiga tempat sekaligus; ke hutan, ke danau dan ke belukar.
Untuk dapat menikmati hutan, danau dan belukar, sebelumnya saya mengayuh beberapa km dari rumah menuju simpang bandara. Kemudian dari simpang bandara, masuk ke hutan melewati pos penjagaan yang kebetulan tidak dijaga, meluncur diatas tanah merah, kemudian terbenam di air waduk setinggi paha orang dewasa, dilanjutkan melintasi hutan dan disambut beberapa penghuni hutan seperti kera ekor panjang dan ular. Setelah hutan (lengkap dengan berbagai jenis kantong semar) saya disuguhi pemandangan menyejukkan, danau (baca:waduk). Andai saja bisa berlama-lama disana..
Usai melepas dahaga di danau, perjuangan dilanjutkan dengan membelah belukar, meski diantara perih yang menyayat kulit saya masih tetap menikmati jalur ini:)

Kemarin saya tidak sendiri menikmati yang mempesona itu, saya ditemani mereka, mereka yang penuh rasa persahabatan dan kekeluargaan. Mereka adalah Neng, Isa, Abah, Djenk Budi, Umar, Komar, Reni, Andi, Rudy, Pak Er, Pak Wibi, Pak Heski, Pak Haryoto, dan Pak Teguh. Mereka hangat.
Di hutan, danau dan belukar Duriangkang saya merasakan kehangatan mereka.

23 Oktober 2008

Ternyata Saling Cinta

UNTUK sahabat-sahabat:

Nai -ular berbisa yang saya kasihi-, Ibnu -adik yang sangat saya sayangi-, Sigit -yang saya cintai-, Suci -sahabat yang selalu berusaha untuk saya jaga-.

Ketidakwarasan pada d membuat saya dan juga kalian yang juga sempat tidakwaras karena d menyadari bahwa ternyata kita saling cinta.
(ingin menulis kericuhan semalam, tapi tidak ingin membuat ketidakwarasan hadir lagi:))

Potongan lirik Sahabat Kecil-Ipank ini untuk kalian:
bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu, rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya, janganlah berganti, tetaplah seperti ini...
Love u all (and d) :)

Catatan:
Sigit tidakwaras pada d
Nai tidakwaras pada d(sb)
Ayu tidakwaras pada d(ll)
Ibnu tidakwaras pada d(kk)
Suci tidakwaras pada d(st)

*gambar diunduh dari www2.kompas.com/gayahidup/news/0606/05/205347.htm

22 Oktober 2008

Aksi Anjing

Selain tanjakan, tantangan bagi pesepeda adalah anjing. Mengapa anjing selalu bersemangat menggoda pesepeda?


Pagi ini saya bersepeda dari rumah ke kantor, di sepanjang perjalanan dari Batam Centre sampai Tiban II beberapa anjing membuat saya terpaksa berdebar, gemetar, mengayuh lebih cepat, dan lemas.
Berdasarkan pengamatan, beginilah aksi anjing ketika berjumpa dengan pesepeda:
1. Berhenti melakukan aktivitasnya
2. Memasang posisi waspada
3. Menatap tajam
4. (dan ketika pesepeda mulai mendekat) si anjing mengeluarkan suara; grr..., berlanjut ke guk, berlanjut lagi ke guk, guk, dst... (dan semakin riuh jika disahuti dan kawan-kawan)
5. (tahap yang paling mendebarkan adalah) MENGEJAR

Entah mengapa anjing beraksi seperti itu terhadap pesepeda. Apakah mungkin karena pesepeda nampak seperti ancaman bagi mereka? Apakah karena pesepeda nampak lemah (dibandingkan motor atau mobil) sehingga anjing berpikir mudah mempermainkan pesepeda? Ataukah memang itu naluri anjing?
Hanya anjing yang tahu:)
*gambar diunduh dari www.cartoonstock.com

20 Oktober 2008

Jika Waktu

Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kutimpali surat sepi itu

Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kusapa pagimu

Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kubagi mereka yang melegenda itu

Jika waktu terulang kembali
Akan kuacuhkan warna-warnamu

Jika waktu terulang kembali
...

Jika saja
Waktu terulang
Kembali

Hanya jika...

14 Oktober 2008

Kebun Raya Bogor

Dari Bali, saya sempatkan mampir ke Bogor. Di Bogor saya sempatkan ke Kebun Raya. Kebun Raya Bogor seperti oasis; daerah subur ditengah gurun Kota Bogor.

Sejuk, teduh, dan hijau begitulah Kebun Raya Bogor. Hehe..ya iyalah. Di kebun ini banyak hal-hal menarik yang saya temui, ada jembatan gantung yang bercat merah -kalau di Surabaya mungkin namanya Jembatan Merah-, ada drinking water -air yang bisa diminum langsung, ituloh seperti di film-film bule-, menemukan Baobab tree, dan yang paling seru adalah menemukan ular yang berbisa di museum zoology.

Jembatan Gantung
Jembatan yang indah. Seorang teman berpendapat bahwa jembatan ini indah digunakan sebagai lokasi pemotretan pre wedding. Hmm..entahlah, indah memang, namun mitos yang saya dengar dari Nai, bahwa jika ke jembatan gantung bersama kekasih, hubungan perkekasihan tidak akan bertahan lama, alias putus setelah berkasihkasihan di jembatan gantung. Mungkin ini lagu yang pas, "jangan kau gantung cerita cintaku...", ah ga nyambung. Jika digunakan sebagai lokasi pre wedding apakah akan bercerai? Hehe..mitosnya hanya untuk pasangan kekasih.
Baobab Tree
Baobab atau Tempayan Besar Berbuah Abu-Abu. Ketika menemukan pohon ini, saya dan Nai sampai meloncat-loncat kegirangan. Si Tempayan Besar Berbuah Abu-Abu ini disebutkan dalam buku Pangeran Kecil. Lengkapnya baca blog Naijah.
Drinking Water
Seperti di film-film, kami menemukan kran air yang airnya bisa langsung diminum. Satu persatu kami mencoba, tentunya sebelum minum kami membaca petunjuknya terlebih dahulu. Maklumlah kami belum pernah mengunakan kran air minum seperti itu. Hmm..rasa ga enak, seperti air yang lama dibesi berkarat, tapi saya telan juga, ingin membuktikan apakah aman (sehat) untuk diminum (gila ya:)). Jika tidak sehat, mungkin dalam beberapa jam lagi perut saya sakit.


Jembatan gantung, Baobab, Air Minum

Ular Yang Berbisa
Dari sekian banyak yang menarik di Kebun Raya Bogor, inilah yang menurut saya paling menarik. Menemukan atau bertemu dan mengambil gambar ular yang berbisa. Berikut foto ular yang berbisa:)

Nai_ Ular Yang Berbisa

10 Oktober 2008

Wonokairun

Meski humornya rada kasar, namun kisah Wonokairun bisa jadi terapi, terapi tertawa. Membaca Wonokairun marakke kepingkel-pingkel.


Berikut beberapa kekoplakan Wonokairun:

Ngumbah Kucing

Wonokairun tuku rinso ndhik tokone Bunali.
"Mbah, kok dengaren sampeyan umbah-umbah dhewe?" takok Bunali.
"Aku katene ngumbah kucing" jare Wonokairun.
"Gak salah tah Mbah." Bunali bingung.
"Iyo soale kucingku akeh tumane." Jare Wonokairun.
"Wah yo isok mati kucing sampeyan Mbah" Bunali ngilingno.
"Lho koncoku wingi ngono, yo gak opo-opo" jare Wonokairun.
Mari mbayar, Wonokairun mulih katene ngumbah kucinge.
Sisuke, Wonokairun teko maneh ndhik tokone Bunali kate tuku rokok.
"Yok opo kucing sampeyan Mbah?" takok Bunali.
"Kucingku mati " jare Wonokairun.
"Lho lak temen tah. Sampeyan iku tak kandhani gak percoyo. Laopo kucing atik diumbah ambek Rinso, wong onok obat tumo" jare Bunali nyeneni.
"Kucingku mati gak mergo Rinso" jare Wonokairun njelasno.
"Opoko lho ??" Bunali gak sabar.
"Tak peres . . . ."


Y u y u

Sore-sore Wonokairun dijak ngobrol ambek Bunali.
"Mbah. Jare arek-arek, sampeyan wis rabi ping telu. Yo tah?", takok Bunali.
"Yo bener. Tapi bojoku wis tebhal kabeh", jare Wonokairun.
"Lho kok isok?" jare Bunali.
"Sing pertama mati nguntal yuyu", jare Wonokairun
"Lha sing kedua?" takok Bunali
"Sing kedua mati nguntal yuyu", jare Wonokairun.
"Lha sing ketiga yo nguntal yuyu pisan?" jare Bunali kemeruh.
"Gak. Matine mergo tak gibheng", jare Wonokairun.
"Lho opoko ?" takok Bunali.
"Soale gak gelem nguntal yuyu . . ."


Wedhus

Bunali pethuk Wonokairun lagi angon wedhus.
"Mbah, waduh wedhus sampeyan akeh yo ?" jare Bunali
"Yo lumayan " jare si Mbah
"Pira kabehe, Mbah ?" takon Bunali maneh
"Sing putih opo sing ireng ?"
"Sing putih, wis"
"Selawe"
"Wik, cik akehe. Lha sing ireng?"
"Podho..." jare Wonokairun ambek ngarit suket
Bunali takon maneh. "Mangan sukete yo akeh pisan, Mbah.."
"Yo.."
"Pirang kilo mangane sakdino ?"
"Sing putih opo sing ireng ?"
'Sing ireng, wis'
"Yo kiro-kiro limang kiloan"
"Lha sing putih?"
"Podho . . ."( Bunali bingung, laopo lek ditakoni kok kudumbedakno sing putih tah ireng, wong jawabane yo podho ae )
"Mbah, opoko lek tak takoni perkara wedusmu, sampeyan mesti leren takon sing putih tah sing ireng barang. Padahal masiyo putih utawa ireng, jawabanmu podho terus. Sakjane ngono onok opo?"
"Ngene lho, sing putih iku wehusku..."
"Lha sing ireng ?"
"Podho . . ."

Kgkgkg...:)

07 Oktober 2008

Kembali Bersepeda, Kembali Berpijar

Men Sana In Corpore Sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

Dua minggu saya absen bersepeda, terasa sangat lama, terasa tidak sehat. Dua minggu ini jantung saya berdebar lebih cepat, perut membuncit, kulit pucat karena jarang terpapar matahari, ditambah lagi ketidakwarasan itu memperburuk kesehatan saya, dan saya meredup.

Penuh semangat untuk kembali sehat dan sehat, saya menerima ajakan bersepeda dua perempuan -Bu Budi dan Teteh Patra- yang sedang gila bersepeda.

Kembali Bersepeda

Pukul 05.15 WIB saya meninggalkan rumah, mengayuh sepeda ke Batuaji. Satu jam mengayuh sendirian, akhirnya saya bisa menyapa mereka di halte bus Pasar Sagulung. Morning ladies..., dan mereka tersenyum manis.
Perjalanan kami mulai, mengayuh sepeda melintasi Hutan Mata Kucing, Sei Harapan, Sekupang, dan akhirnya tiba di tempat tujuan kami, Kandang Rusa.
Sambil menikmati panganan Lebaran, kami melepas lelah. Rupanya kehadiran (dan makanan) kami menarik perhatian seekor rusa untuk mendekat. Jadilah pagi itu kami bertiga memberi makan rusa. Krutuk krutuk.. begitu bunyi makanan yang hancur digilas gigi-gigi si rusa jinak.

Selepas bermain dengan rusa, perjalanan kami lanjutkan ke Pasar Sei Harapan, mencari sarapan. Di pasar ini kami berputar-putar bingung memilih menu sarapan. Malas berputar lagi, malas bingung lagi, akhirnya kami memutuskan untuk menikmati Bakso dan Mie Ayam disamping sebuah toko kelontong. Toko ini mengingatkan saya pada Toko Sinar Harapan dalam Laskar Pelangi, toko yang penuh barang. Sepertinya pemilik toko seperti A Miauw, memiliki sakit jiwa no.28 yaitu menyimpan barang-barang tidak berguna. Meski dalam suasana hoarding toko serta ditambah tarian belatung dihadapan kami, sarapan kami pagi itu terasa nikmat.

Disela sarapan, sempat juga kami berbincang tentang perselingkuhan, ketidakpuasan laki-laki dan kebodohan perempuan. Ketika membahas kebodohan perempuan, Bu Budi berujar "Perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan, harus siap menyakiti". Aku menatap Teh Patra dan berujar "Kita tidak siap menyakiti kan?". Fyuh.., obrolan pagi yang melelahkan.

Matahari meninggi, bergegas kami mengayuh sepeda ke arah Tanjung Riau, dan berpisah di Simpang Base Camp. Sabtu pagi yang menyenangkan.

Pengkhianatan di Hari Minggu

Minggu pagi saya berjanji pada Bu Budi untuk menemaninya menjajal Jalur Neng. Tapi janji tinggal janji, janji diatas ingkar, saya mengkhianati janji. Berkhianat padanya dengan mengirim pesan pendek mengabarkan bahwa saya tidak bisa menemaninya bersepeda di Jalur Neng dengan alasan tidak enak badan, namun pada kenyataannya saya membuat janji lain, bersepeda ke Sei Ladi bersama Teh Patra.

Pengkhianatan itu menyenangkan, oh maaf Bu..
Tidak bisa dipungkiri, saya benar-benar menikmati Sei Ladi -jembatan dan dam-, kemudian mampir ke Pura dan menyempatkan diri bersujud syukur, yang ternyata dapat membuat saya merasa tenang.


Bu Budi, Teh Patra, dan saya

Kembali Berpijar

Kembali bersepeda membuat saya kembali berpijar. Merasa menjadi saya, merasa lebih sehat, dan merasa bahagia.
Bersepeda telah memberi warna dalam hidup saya, warna yang membaur berganti.

02 Oktober 2008

Rendang dan Cerminan Hati

Lebaran lagi, mudik lagi, berkumpul lagi, makan-makan lagi, ketupat opor rendang lagi. Tiga makanan diatas adalah sajian wajib saat merayakan hari kemenangan, Idul Fitri. Meski tidak berlebaran, tidak mudik, tidak berkumpul, namun tradisi ketupat opor rendang saya jalankan.

Saat gema takbir berkumandang dan kembang api menghiasi langit, saya berkutat di dapur. Memasak rendang. Potongan daging, bumbu jadi, santan, garam dan sedikit penyedap, saya pertemukan dalan sebuah wajan dan saya biarkan api menunaikan tugasnya.

Tengok, aduk, tinggalkan. Tengok, aduk, menambah santan, kemudian saya tinggalkan lagi. Begitu terus, berulang-ulang. Entah berapa kali menengok, mengaduk, menambah santan atau air, namun daging tak kunjung empuk. Tidak sabar dan mulai putus asa. Mulailah saya menyusun rencana-rencana gila; pertama, jika dalam satu tayangan sinetron daging tidak empuk, maka calon rendang ini akan saya gepuk (pukul) sehingga daging menjadi pipih seperti dendeng. Rencana kedua, daging rendang akan saya basuh dengan air untuk menghilangkan bumbunya, saya potong kecil, kemudian saya masak sop, sop daging eks calon rendang:)

Dalam satu tayangan sinetron saya menunggu. Tidak menengok, tidak mengaduk, tidak menambah santan, saya biarkan api bekerja. Tepat satu tayangan sinentron usai, saya mengintip ke wajan, santan telah susut, daging empuk, dan nampak seperti rendang di RM Padang.

Haru...
Bergegas menyendok nasi, mengambil potongan daging, dan memulai menikmati hasil karya.

Auw..., asin. Benar-benar asin. Jauh dari nikmat, tidak karuan.
Gagal, ya malam itu saya gagal memasak. Rasanya seperti pukulan, mengingat saya cukup pandai memasak.

Mengapa asin? Mengapa (rasa) tidak karuan?

Ibu saya pernah berkata bahwa (rasa) masakan mencerminkan suasana hati si pemasak.
Hmm... apakah suasana hati saya sedang tidak karuan (baca: tidak baik )?
Entahlah...
Yang pasti suasana hati saya tidak asin:)

Pelajaran berharga yang dipetik dari memasak rendang malam itu adalah bahwa dalam mengerjakan sesuatu (lebih-lebih memasak, lebih-lebih lagi memasak rendang) harus dengan ketenangan hati dan kesabaran (dan juga jangan percaya pada bumbu jadi, pastikan rasa garamnya).

Mari menenangkan hati dan bersabar diri.

Mari memasak rendang dan bercermin:)



Sapedah | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id