Sedikit tentang meminang menurut http://culture.melayuonline.com , istilah meminang digunakan karena buah pinang adalah bahan utama -selain sirih, kapur, tembakau- yang dibawa saat acara meminang. Buah pinang adalah lambang untuk laki-laki dan sirih adalah lambang untuk perempuan. Diharapkan seperti saat makan sirih, akan terasa tidak lengkap tanpa pinang begitu juga sebaliknya, artinya diharapkan laki-laki dan perempuan (baca: suami dan istri) saling melengkapi, bersatu dan tidak dapat dipisahkan.
28 Oktober 2008
Melumat Pinangan
27 Oktober 2008
Ke Duriangkang; Ke Hutan, Ke Danau, Ke Belukar dan Kehangatan
23 Oktober 2008
Ternyata Saling Cinta
Ketidakwarasan pada d membuat saya dan juga kalian yang juga sempat tidakwaras karena d menyadari bahwa ternyata kita saling cinta.
Potongan lirik Sahabat Kecil-Ipank ini untuk kalian:
bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu, rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya, janganlah berganti, tetaplah seperti ini...
Catatan:
Sigit tidakwaras pada d
Nai tidakwaras pada d(sb)
Ayu tidakwaras pada d(ll)
Ibnu tidakwaras pada d(kk)
Suci tidakwaras pada d(st)
22 Oktober 2008
Aksi Anjing
Selain tanjakan, tantangan bagi pesepeda adalah anjing. Mengapa anjing selalu bersemangat menggoda pesepeda?
20 Oktober 2008
Jika Waktu
Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kutimpali surat sepi itu
Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kusapa pagimu
Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kubagi mereka yang melegenda itu
Jika waktu terulang kembali
Akan kuacuhkan warna-warnamu
Jika waktu terulang kembali
...
Jika saja
Waktu terulang
Kembali
Hanya jika...
14 Oktober 2008
Kebun Raya Bogor
Baobab atau Tempayan Besar Berbuah Abu-Abu. Ketika menemukan pohon ini, saya dan Nai sampai meloncat-loncat kegirangan. Si Tempayan Besar Berbuah Abu-Abu ini disebutkan dalam buku Pangeran Kecil. Lengkapnya baca blog Naijah.
Nai_ Ular Yang Berbisa
10 Oktober 2008
Wonokairun
Meski humornya rada kasar, namun kisah Wonokairun bisa jadi terapi, terapi tertawa. Membaca Wonokairun marakke kepingkel-pingkel.
07 Oktober 2008
Kembali Bersepeda, Kembali Berpijar
Dua minggu saya absen bersepeda, terasa sangat lama, terasa tidak sehat. Dua minggu ini jantung saya berdebar lebih cepat, perut membuncit, kulit pucat karena jarang terpapar matahari, ditambah lagi ketidakwarasan itu memperburuk kesehatan saya, dan saya meredup.
Kembali Bersepeda
Perjalanan kami mulai, mengayuh sepeda melintasi Hutan Mata Kucing, Sei Harapan, Sekupang, dan akhirnya tiba di tempat tujuan kami, Kandang Rusa.
Sambil menikmati panganan Lebaran, kami melepas lelah. Rupanya kehadiran (dan makanan) kami menarik perhatian seekor rusa untuk mendekat. Jadilah pagi itu kami bertiga memberi makan rusa. Krutuk krutuk.. begitu bunyi makanan yang hancur digilas gigi-gigi si rusa jinak.
Selepas bermain dengan rusa, perjalanan kami lanjutkan ke Pasar Sei Harapan, mencari sarapan. Di pasar ini kami berputar-putar bingung memilih menu sarapan. Malas berputar lagi, malas bingung lagi, akhirnya kami memutuskan untuk menikmati Bakso dan Mie Ayam disamping sebuah toko kelontong. Toko ini mengingatkan saya pada Toko Sinar Harapan dalam Laskar Pelangi, toko yang penuh barang. Sepertinya pemilik toko seperti A Miauw, memiliki sakit jiwa no.28 yaitu menyimpan barang-barang tidak berguna. Meski dalam suasana hoarding toko serta ditambah tarian belatung dihadapan kami, sarapan kami pagi itu terasa nikmat.
Matahari meninggi, bergegas kami mengayuh sepeda ke arah Tanjung Riau, dan berpisah di Simpang Base Camp. Sabtu pagi yang menyenangkan.
Pengkhianatan di Hari Minggu
Pengkhianatan itu menyenangkan, oh maaf Bu..
Kembali bersepeda membuat saya kembali berpijar. Merasa menjadi saya, merasa lebih sehat, dan merasa bahagia.
02 Oktober 2008
Rendang dan Cerminan Hati
Tengok, aduk, tinggalkan. Tengok, aduk, menambah santan, kemudian saya tinggalkan lagi. Begitu terus, berulang-ulang. Entah berapa kali menengok, mengaduk, menambah santan atau air, namun daging tak kunjung empuk. Tidak sabar dan mulai putus asa. Mulailah saya menyusun rencana-rencana gila; pertama, jika dalam satu tayangan sinetron daging tidak empuk, maka calon rendang ini akan saya gepuk (pukul) sehingga daging menjadi pipih seperti dendeng. Rencana kedua, daging rendang akan saya basuh dengan air untuk menghilangkan bumbunya, saya potong kecil, kemudian saya masak sop, sop daging eks calon rendang:)
Dalam satu tayangan sinetron saya menunggu. Tidak menengok, tidak mengaduk, tidak menambah santan, saya biarkan api bekerja. Tepat satu tayangan sinentron usai, saya mengintip ke wajan, santan telah susut, daging empuk, dan nampak seperti rendang di RM Padang.
Haru...
Bergegas menyendok nasi, mengambil potongan daging, dan memulai menikmati hasil karya.
Auw..., asin. Benar-benar asin. Jauh dari nikmat, tidak karuan.
Gagal, ya malam itu saya gagal memasak. Rasanya seperti pukulan, mengingat saya cukup pandai memasak.
Mengapa asin? Mengapa (rasa) tidak karuan?
Ibu saya pernah berkata bahwa (rasa) masakan mencerminkan suasana hati si pemasak.
Hmm... apakah suasana hati saya sedang tidak karuan (baca: tidak baik )?
Entahlah...
Yang pasti suasana hati saya tidak asin:)
Pelajaran berharga yang dipetik dari memasak rendang malam itu adalah bahwa dalam mengerjakan sesuatu (lebih-lebih memasak, lebih-lebih lagi memasak rendang) harus dengan ketenangan hati dan kesabaran (dan juga jangan percaya pada bumbu jadi, pastikan rasa garamnya).
Mari menenangkan hati dan bersabar diri.
Mari memasak rendang dan bercermin:)