31 Desember 2008

Menutup Kelam Menyongsong Asa

TIDAK terasa sudah di penghujung tahun 2008. Masih segar dalam ingatan, setahun yang lalu saya menghabiskan malam di sana dengan untaian syukur dan harap dalam doa.

Super.... (meminjam kata ajaib Mario Teguh), karena banyak sekali harapan yang saya panjatkan malam itu terwujud sepanjang 2008. Meski tak lepas dari lara dan setitik kisah kelam, tahun 2008 merupakan tahun yang luar biasa.
Luar biasa atas limpahan rejeki dan kesehatan, perjumpaan dengan mereka yang penuh ceria, pertemuan dengannya yang memberi warna meski kemudian meninggalkan kelam, dan yang mengagumkan di tahun ini perlahan saya belajar menghadapi ketakutan-ketakutan yang selama ini membayangi langkah.

Beberapa jam lagi langit akan semarak dengan warna. Teriring warna-warna indah di langit, saya tutup kelam dan songsong hari-hari indah di tahun 2009.
Dan tidak akan pernah lelah melebar jiwa....

Selamatkan Tahun Baru:)


gambar diunduh dari www.kamera-digital.com

06 Desember 2008

Hujan

SEDANG hujan. Meski gelap dan dingin, namun saya menyukai hujan.

Sore ini menikmati hujan ditemani beberapa lagu tentang hujan, antara lain: Hujan-Utopia, Hujan Fantasi-Jubing, Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono, dan lagu milik Andien tentang hujan yang saya lupa judulnya.
Berikut syair dari lagu-lagu yang saya tuliskan diatas:


Hujan, Utopia

Rinai hujan basahi aku. Temani sepi yang mengendap. Kala aku mengingatmu. Dan semua saat manis itu
Segalanya seperti mimpi. Kujalani hidup sendiri. Andai waktu berganti. Aku tetap takkan berubah
Aku selalu bahagia. Saat hujan turun . Karena aku dpt mengenangmu untukku sendiri
Selalu ada cerita. Tersimpan dihatiku. Tentang kau dan hujan. Tentang cinta kita yang mengalir . Sperti air
Aku selalu bahagia. Saat hujan turun . Karena aku dpt mengenangmu untukku sendiri. Aku bisa tersenyum. Sepanjang hari karena hujan pernah. Menahanmu disini. Untukku...
***
Hujan Fantasy, Jubing

petikan gitar yang merdu dari lagu anak-anak.
tik tik bunyi hujan diatas genting, airnya turun tidak terkira, cobalah tengok, dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua
***


Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga
***
..., Andien

reff:
harap-harap cemas menanti, deras hujan kan berhenti, hingga cerah cerah alamku ini, berseri, sambut mentari, wahai hujan hujan di sore ini, walau engkau adalah karunia-Nya, namun tolong tolong pergilah dulu, sedang kutunggu datangnya engkau sayang

***


Sudah selesai hujannya
Sudah menyanyinya
*gambar diunduh dari ruangirna.blogspot.com/2007/01_01_archive.html/

Rejeki

Rejeki tak akan kemana

HARI ini hari Sabtu. Hari yang biasanya saya isi dengan bersepeda, mencuci, menyetrika dan kemudian tidur seharian. Tapi rupanya hari ini saya tidak bisa melakukan semua hal diatas, saya harus ke kantor.
Meeting begitu permintaannya. Dengan berat saya harus rela meninggalkan kasur hangat saya.

Memakai kostum nggilani (kaos dan celana yang sudah saya pakai berkali-kali dalam minggu ini dan belum saya cuci) saya berangkat gontai sambil ditemani perasaan kecewa pada diri sendiri karena telah melewatkan sebuah kesempatan. Saya melewatkan sebuah lowongan di WHO, oh...

Tiba dikantor saya melihat makanan dan minuman. Hmm.. sepertinya rapat yang istimewa sampai menyediakan makanan-makanan sedap. Cukuplah untuk mengobati kekecewaan saya pagi ini:)

Tak lama berselang kemudian si pengatur proyek itu datang dengan mengenakan kemeja (sedikit bingung, saya pikir cukup aneh berpakaian rapi dihari Sabtu meski untuk meeting, yah..mungkin saja ia sedang ingin rapi). Kemudian ia membuka rapat, seterusnya bla bla bla..... (seperti rapat-rapat biasa) dan saya sibuk dengan pikiran-pikiran liar saya.
Sedang asyiknya menikmati keliaran diri, si pengatur proyek berujar “dengan ini saya serahkan tugas dan tanggung jawab si... kepada ... silahkan menyampaikan beberapa kata.
Dengan bingung, saya ikuti permintaannya, seterusnya bla bla bla... dilanjutkan dengan berjabat tangan, berpelukan, dan berfoto.

Oh???
Ya ini rejeki, meski bukan di WHO.
*meski gajinya tidak seperti di who, tapi tetep alhamdulillah...

20 November 2008

Karimun; Dalam Tiga Kisah


Kisah goweser Batam di Karimun. Tidak selalu tentang kayuhan.

SEBAGAI pesepeda, tentulah sebagian catatan perjalanan saya dan mereka ke Karimun beberapa waktu lalu berisi tentang dunia sepeda. Namun tidak semua melulu berkisah tentang kayuhan.

Dalam blognya Fajar berkisah tentang lawatan kami ke Karimun dengan mellow. Ia menggambarkan kekaguman dan perasaan hatinya seperti ini:
“Terima kasih Karimun, Goweser Karimun sungguh mengagumkan, ada sekitar 5 - 7 orang yang tergolong lansia (maaf) karena sudah 60an tahun ke atas, tapi semangat mereka RRUUARRR BIASA. Dan juga kami terkagum dengan keramahan mereka semua..... Big Thanks for you all Karimun Cyclist tak lupa suguhan di garis pinish/finish (Teh O, Telor Rebus dan Kacang Hijau) sungguh "JOSS"
Thanks Karimun, engkau telah mengisi kisi-kisi mimpi nyataku”

Berbeda dengan Fajar, Bung Heski bercerita tentang kunjungannya melalui foto-foto cantik. Dua puluh sembilan foto yang ia unggah di blognya menggambarkan leburnya goweser Batam dan Karimun dalam sebuah semangat, keelokan lintasan granit, keunikan bus (truk) Karimun, serta kehangatan dan keriangan kami.
Foto-foto cantik Karimun bisa dilihat di http://hmanginsela.multiply.com/photos/album/23

Membaca ke-mellow-an Fajar dan kecantikan foto-foto Bung Heski membuat saya tergelitik untuk turut berkisah. Berbeda dengan mereka, saya mencoba menggambarkan kuliner dan kehidupan malam sebagai nafas Karimun.

Penduduk Karimun menjadikan waktu makan bak hiburan, hanyut dalam tiap detiknya dan tak ingin menyudahi. Hari diawali dengan bunyi denting sendok yang beradu dengan gelas atau piring dikedai-kedai kopi dan makanan. Aroma bumbu kacang mie lendir, wangi roti prata, dan harumnya kopi mengisi udara pagi. Beranjak siang kedai-kedai akan semakin sesak dengan orang-orang yang lagi-lagi menikmati kopi. Kopi yang disajikan dalan cangkir kecil ini tidak bisa menunjukkan pergantian waktu. Pagi atau siang, pun malam diisi dengan kopi. Selain kedai-kedai kopi, disiang hari godaan juga datang dari warung-warung yang menjual masakan cina yang tentu saja hanya bisa dinikmati kalangan terbatas. Menjelang senja, kuliner Karimun makin marak. Sebuah gang ditengah kota hiruk dengan pedagang makanan. Pesta perut dimalam hari bukan hanya marak pada sebuah gang namun juga meriah di pujasera-pujasera tepi laut.
Bagitulah, urusan perut di Karimun memang tidak pernah padam.

Setelah urusan perut terpenuhi kemudian berpindah ke bawah perut. Ya satu lagi nafas Karimun, kehidupan malam, seksualitas dan erotisme.
Memasuki Tanjung Balai Karimun, pendatang akan dikejutkan dengan deretan hotel (murah dan juga murahan) serta panti-panti pijat yang saya pikir bukan hanya menawarkan sekedar pijatan. Di kota wisata sex ini saya tercengang, saya menyaksikan langsung seorang pekerja seksual bertransaksi dengan kliennya. Saya semakin dikejutkan saat berada disebuah lobi hotel, seorang perempuan -dengan pakaian yang mengugah iman- mendatangi receptionist dan berkata dengan volume suara yang bisa didengar bukan hanya oleh si receptionist “Aku dibuking kamar 205”.
Keterkejutan saya bukan hanya dilingkungan hotel, namun juga di apotik. Mendapati seorang laki-laki membeli bermacam-macam antibiotik untuk perempuan yang digandengnya. "Minum ini supaya tak sakit" begitu kata si laki-laki.
Auw..., bodohnya. Ingin sekali mengatakan pada mereka bahwa minum antibiotik tidak dapat melindungi diri mereka dari penyakit menular seksual dan HIV.
Beberapa hal yang saya tuliskan diatas sudah menjadi bagian sehari-hari Karimun. Kehidupan malamlah yang menggairahkan kota ini, membuat kota kecil ini tetap berdenyut.

Yang saya, Fajar dan Bung Heski tulis menggambarkan keterasingan kami di Karimun. Kami tercengang sekaligus terpukau pada keunikan dan erotisme Karimun.
Selayaknya musafir, setiap perjalanan selalu menyisakan kegembiraan baru.

11 November 2008

Pelangi Untuk Kekasihku

Baru saja berakhir hujan disore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi


Agni,
Sudah tiga senja aku melihat pelangi. Melihat warna-warna. Warna -warna yang melengkung cantik di langit. Derai tawa anak-anak yang bermain di kubangan itu mengiringi keceriaan pelangi yang kukagumi. Cinta, rindu yang disampaikan melalui sorot mata berpasang-pasang kekasih di padang itu melengkapi keindahan pelangi yang kutatap.
Agni kekasihku,
Melihat pelangi, melihat warna-warna, mengingatkanku padamu.
Kukirimkan keindahan warna-warna pelangi dalam sepucuk surat ini, untukmu kekasihku.
***
Agni,
Kuterima sepucuk surat balasan darimu.
"berharap hujan datang dan pergi, setiap hari di tempatmu, agar tampakkan pelangi. Dan dirimu ingatku selalu.."
Agni kekasihku,
Kuharapkan hal yang sama, agar bisa kukirimkan lagi pelangi-pelangi lain, untukmu kekasihku.
***

07 November 2008

Nostalgila

Baru saja saya menerima foto diatas, foto kami di Tanah Lot yang diambil sekitar tahun 1987 dengan latar belakang Pura Tanah Lot yang sedang diubah elok. Melihat foto itu membuat saya bernostalgila pada masa kecil saya.
Indahnya...
***
Gadis kecil berlari ikuti arus
Tak peduli gaunnya tersingkap angin
Dia ingin bebas
Bagai bidadari
Melihat semua
Warna warni dunia
***

05 November 2008

Malaikat Juga Tahu

HARI ini saya berbincang dengan beberapa laki-laki tentang kisah terlarang mereka. Tidak akan saya teruskan.
Saya akan berbagi syair lagu Malaikat Juga Tahu milik Dewi Lestari.
Besar harapan saya lagu ini bisa menyadarkan mereka untuk segera menyudahi kisah itu.
"Bung...,sepi dan hampamu takkan hilang oleh pacar impian. Hanya mereka, malaikat-malaikatmu yang dirumah yang mampu membuat hidupmu berwarna. Kau tak lihat terkadang malaikat tak bersayap tak cemerlang tak rupawan. Dan malaikat tahu siapa pemenangnya."
***
Berikut syair lagu yang sedang saya putar berulang-ulang.
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri..
Cintakulah yang sejati
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Kau selalu meminta tuk terus kutemani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi..
Karna tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu..
Aku kan jadi juaranya
***

02 November 2008

(Bukan) Hanya Ada Sepeda Diantara Kami

SAYA tiba di rumah saat sudah lewat tengah malam. Sebuah kantong plastik berisi bungkusan nasi dan olahan udang menemani saya melambai pada mereka. Mereka, suami-istri yang saya kenal dari bersepeda.
Beberapa jam sebelumnya, saya dikunjungi si istri. Sore itu ia datang bersama tiga buah hatinya. Ia datang membagi keramaian untuk menghapus kesepian saya. Memang menjadi ramai, ramai karena buah hatinya larut dalam dunia anak-anak (baca: memporakporandakan isi rumah) dan kami ramai dengan berbincang perihal dunia perempuan, indahnya dunia sepeda, anak-anak mereka, keunikan sigaran jiwanya, dan kebahagiannya sebagai istri dan ibu. Diluar perbincangan tentang dunia sepeda, perbincangan saya dengannya mengingatkan saya pada dua kakak perempuan yang saya rindukan.
Belum ingin mengakhiri, ia dan saya memutuskan melanjutkan perbincangan dirumah mereka. Kali ini ditemani belahan jiwanya yang acap kali menuduh saya aneh, padahal saya pikir bahwa dosis keanehannya berlipat-lipat melebihi keanehan saya, ups maaf..:)
Dan bertiga kami pun larut dalam perbincangan yang melebar kemana-mana.
Dari perbincangan kami itu, semakin menegaskan pada saya bahwa kehangatan dan rasa kekeluargaan bisa saya dapatkan pada mereka. Entah bagaimana harus merangkainya dalam kalimat tulis, namun perbincangan yang kami mulai saat senja dan berakhir dini hari dengan sebuah kantong plastik membawa kesan bagi saya. Persahabatan saya dengan mereka tidak hanya sebatas pada kegiatan bersepeda.
Bukan hanya ada sepeda diantara kami.

28 Oktober 2008

Melumat Pinangan

BERJALAN dengan membawa nampan yang berisi bingkisan dalam iringan keluarga besar peminang membuat jantung saya berdebar. Berdebar karena inilah kali pertama saya ikut serta dalam acara meminang seorang gadis, yang kedua saya belum pernah dipinang, ketiga perbedaan budaya membuat saya makin berdebar dan waspada.

Sedikit tentang meminang menurut http://culture.melayuonline.com , istilah meminang digunakan karena buah pinang adalah bahan utama -selain sirih, kapur, tembakau- yang dibawa saat acara meminang. Buah pinang adalah lambang untuk laki-laki dan sirih adalah lambang untuk perempuan. Diharapkan seperti saat makan sirih, akan terasa tidak lengkap tanpa pinang begitu juga sebaliknya, artinya diharapkan laki-laki dan perempuan (baca: suami dan istri) saling melengkapi, bersatu dan tidak dapat dipisahkan.

Kembali ke pinangan malam itu. Memasuki rumah si gadis, satu persatu kami meletakkan antaran, dimulai dari pinang dkk, rajangan pandan dan bunga, kue, kemudian beberapa bingkisan. Kemudian wakil dari masing-masing pihak duduk berhadapan, dan dimulailah acara mendebarkan itu.
Acara pinangan ini menggunakan tradisi Melayu, pihak perempuan diwakili oleh seorang bapak dari suku Jawa, pihak laki-laki diwakili oleh seorang Dayak yang sudah naik haji dan lama tinggal di Tanjung Pinang.
Terjadilah kekonyolan-kekonyolan. Haji Dayak melantur entah kemana, dia malah menceritakan biografinya, Bapak Jawa dengan terkagum-kagum mendegarnya kisah hidup pak Haji. Saat masih terkagum-kagum, Haji Dayak memberikan pinang dan kemudian disambut dan dilumat oleh Bapak Jawa. Ya Bapak Jawa sebagai wakil perempuan telah melumat pinangan dari pihak laki-laki.
Tahukah bahwa ketika wakil pihak perempuan menerima dan melumat pinang menandakan bahwa pinangan telah diterima? Hehehe..trik Haji Dayak ini sangat jitu, memanfaatkan ketidakpahaman seorang Jawa tentang tradisi pinangan Melayu:)
Setelah Bapak Jawa melumat pinangan, orang-orang berucap Alhamdulillah, dan dia pun kebingungan, kgkgkg...:)
Belum usai Bapak Jawa melumat pinangan, tanpa diminta seorang ibu bergerak ke tengah ruangan mengambil sirih, mengoleskan kapur, menambah pinang dan memberikannya pada saya, "Ini Ayu, supaya cepet nyusul". Dengan terkejut, saya terima pinang sirih itu kemudian saya lumat sambil menebarkan senyum ke penjuru ruangan, "Oh... semoga saja Bu" dan serempak mereka mengucapkan "Amin..."
Ternyata tidak berhenti pada melumat, seorang ibu kemudian mengambil nampan berisi rajangan pandan dan bunga, kemudian memberikan segengam rajangan itu kepada saya, "Ini juga Yu, supaya komplit, supaya cepet nyusul".
Oh ibu-ibu...

Malam itu saya melumat pinangan dengan penuh harap:)

27 Oktober 2008

Ke Duriangkang; Ke Hutan, Ke Danau, Ke Belukar dan Kehangatan

KEMARIN saya bersepeda ke Duriangkang. Mengingat banyaknya jalur-jalur offroad yang bisa dinikmati pesepeda di dalam kawasan Duriangkang, komunitas bersepeda Batam biasa menyebut jalur yang saya lalui kemarin dengan jalur Duriangkang 1 (mungkin penomoran dilakukan untuk memudahkan dalam mengingat rute).
Duriangkang 1 menurut saya adalah jalur bersepeda yang menyenangkan, tracknya tidak terlalu melelahkan, ada beberapa tanjakan serta downhill tapi tidak sampai menguras tenaga. Yang mempesona adalah di Duriangkang 1 saya menemukan alam yang saya rindukan, pada satu lokasi saya serasa pergi (dan menikmati) ke tiga tempat sekaligus; ke hutan, ke danau dan ke belukar.
Untuk dapat menikmati hutan, danau dan belukar, sebelumnya saya mengayuh beberapa km dari rumah menuju simpang bandara. Kemudian dari simpang bandara, masuk ke hutan melewati pos penjagaan yang kebetulan tidak dijaga, meluncur diatas tanah merah, kemudian terbenam di air waduk setinggi paha orang dewasa, dilanjutkan melintasi hutan dan disambut beberapa penghuni hutan seperti kera ekor panjang dan ular. Setelah hutan (lengkap dengan berbagai jenis kantong semar) saya disuguhi pemandangan menyejukkan, danau (baca:waduk). Andai saja bisa berlama-lama disana..
Usai melepas dahaga di danau, perjuangan dilanjutkan dengan membelah belukar, meski diantara perih yang menyayat kulit saya masih tetap menikmati jalur ini:)

Kemarin saya tidak sendiri menikmati yang mempesona itu, saya ditemani mereka, mereka yang penuh rasa persahabatan dan kekeluargaan. Mereka adalah Neng, Isa, Abah, Djenk Budi, Umar, Komar, Reni, Andi, Rudy, Pak Er, Pak Wibi, Pak Heski, Pak Haryoto, dan Pak Teguh. Mereka hangat.
Di hutan, danau dan belukar Duriangkang saya merasakan kehangatan mereka.

23 Oktober 2008

Ternyata Saling Cinta

UNTUK sahabat-sahabat:

Nai -ular berbisa yang saya kasihi-, Ibnu -adik yang sangat saya sayangi-, Sigit -yang saya cintai-, Suci -sahabat yang selalu berusaha untuk saya jaga-.

Ketidakwarasan pada d membuat saya dan juga kalian yang juga sempat tidakwaras karena d menyadari bahwa ternyata kita saling cinta.
(ingin menulis kericuhan semalam, tapi tidak ingin membuat ketidakwarasan hadir lagi:))

Potongan lirik Sahabat Kecil-Ipank ini untuk kalian:
bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu, rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya, janganlah berganti, tetaplah seperti ini...
Love u all (and d) :)

Catatan:
Sigit tidakwaras pada d
Nai tidakwaras pada d(sb)
Ayu tidakwaras pada d(ll)
Ibnu tidakwaras pada d(kk)
Suci tidakwaras pada d(st)

*gambar diunduh dari www2.kompas.com/gayahidup/news/0606/05/205347.htm

22 Oktober 2008

Aksi Anjing

Selain tanjakan, tantangan bagi pesepeda adalah anjing. Mengapa anjing selalu bersemangat menggoda pesepeda?


Pagi ini saya bersepeda dari rumah ke kantor, di sepanjang perjalanan dari Batam Centre sampai Tiban II beberapa anjing membuat saya terpaksa berdebar, gemetar, mengayuh lebih cepat, dan lemas.
Berdasarkan pengamatan, beginilah aksi anjing ketika berjumpa dengan pesepeda:
1. Berhenti melakukan aktivitasnya
2. Memasang posisi waspada
3. Menatap tajam
4. (dan ketika pesepeda mulai mendekat) si anjing mengeluarkan suara; grr..., berlanjut ke guk, berlanjut lagi ke guk, guk, dst... (dan semakin riuh jika disahuti dan kawan-kawan)
5. (tahap yang paling mendebarkan adalah) MENGEJAR

Entah mengapa anjing beraksi seperti itu terhadap pesepeda. Apakah mungkin karena pesepeda nampak seperti ancaman bagi mereka? Apakah karena pesepeda nampak lemah (dibandingkan motor atau mobil) sehingga anjing berpikir mudah mempermainkan pesepeda? Ataukah memang itu naluri anjing?
Hanya anjing yang tahu:)
*gambar diunduh dari www.cartoonstock.com

20 Oktober 2008

Jika Waktu

Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kutimpali surat sepi itu

Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kusapa pagimu

Jika waktu terulang kembali
Tidak akan kubagi mereka yang melegenda itu

Jika waktu terulang kembali
Akan kuacuhkan warna-warnamu

Jika waktu terulang kembali
...

Jika saja
Waktu terulang
Kembali

Hanya jika...

14 Oktober 2008

Kebun Raya Bogor

Dari Bali, saya sempatkan mampir ke Bogor. Di Bogor saya sempatkan ke Kebun Raya. Kebun Raya Bogor seperti oasis; daerah subur ditengah gurun Kota Bogor.

Sejuk, teduh, dan hijau begitulah Kebun Raya Bogor. Hehe..ya iyalah. Di kebun ini banyak hal-hal menarik yang saya temui, ada jembatan gantung yang bercat merah -kalau di Surabaya mungkin namanya Jembatan Merah-, ada drinking water -air yang bisa diminum langsung, ituloh seperti di film-film bule-, menemukan Baobab tree, dan yang paling seru adalah menemukan ular yang berbisa di museum zoology.

Jembatan Gantung
Jembatan yang indah. Seorang teman berpendapat bahwa jembatan ini indah digunakan sebagai lokasi pemotretan pre wedding. Hmm..entahlah, indah memang, namun mitos yang saya dengar dari Nai, bahwa jika ke jembatan gantung bersama kekasih, hubungan perkekasihan tidak akan bertahan lama, alias putus setelah berkasihkasihan di jembatan gantung. Mungkin ini lagu yang pas, "jangan kau gantung cerita cintaku...", ah ga nyambung. Jika digunakan sebagai lokasi pre wedding apakah akan bercerai? Hehe..mitosnya hanya untuk pasangan kekasih.
Baobab Tree
Baobab atau Tempayan Besar Berbuah Abu-Abu. Ketika menemukan pohon ini, saya dan Nai sampai meloncat-loncat kegirangan. Si Tempayan Besar Berbuah Abu-Abu ini disebutkan dalam buku Pangeran Kecil. Lengkapnya baca blog Naijah.
Drinking Water
Seperti di film-film, kami menemukan kran air yang airnya bisa langsung diminum. Satu persatu kami mencoba, tentunya sebelum minum kami membaca petunjuknya terlebih dahulu. Maklumlah kami belum pernah mengunakan kran air minum seperti itu. Hmm..rasa ga enak, seperti air yang lama dibesi berkarat, tapi saya telan juga, ingin membuktikan apakah aman (sehat) untuk diminum (gila ya:)). Jika tidak sehat, mungkin dalam beberapa jam lagi perut saya sakit.


Jembatan gantung, Baobab, Air Minum

Ular Yang Berbisa
Dari sekian banyak yang menarik di Kebun Raya Bogor, inilah yang menurut saya paling menarik. Menemukan atau bertemu dan mengambil gambar ular yang berbisa. Berikut foto ular yang berbisa:)

Nai_ Ular Yang Berbisa

10 Oktober 2008

Wonokairun

Meski humornya rada kasar, namun kisah Wonokairun bisa jadi terapi, terapi tertawa. Membaca Wonokairun marakke kepingkel-pingkel.


Berikut beberapa kekoplakan Wonokairun:

Ngumbah Kucing

Wonokairun tuku rinso ndhik tokone Bunali.
"Mbah, kok dengaren sampeyan umbah-umbah dhewe?" takok Bunali.
"Aku katene ngumbah kucing" jare Wonokairun.
"Gak salah tah Mbah." Bunali bingung.
"Iyo soale kucingku akeh tumane." Jare Wonokairun.
"Wah yo isok mati kucing sampeyan Mbah" Bunali ngilingno.
"Lho koncoku wingi ngono, yo gak opo-opo" jare Wonokairun.
Mari mbayar, Wonokairun mulih katene ngumbah kucinge.
Sisuke, Wonokairun teko maneh ndhik tokone Bunali kate tuku rokok.
"Yok opo kucing sampeyan Mbah?" takok Bunali.
"Kucingku mati " jare Wonokairun.
"Lho lak temen tah. Sampeyan iku tak kandhani gak percoyo. Laopo kucing atik diumbah ambek Rinso, wong onok obat tumo" jare Bunali nyeneni.
"Kucingku mati gak mergo Rinso" jare Wonokairun njelasno.
"Opoko lho ??" Bunali gak sabar.
"Tak peres . . . ."


Y u y u

Sore-sore Wonokairun dijak ngobrol ambek Bunali.
"Mbah. Jare arek-arek, sampeyan wis rabi ping telu. Yo tah?", takok Bunali.
"Yo bener. Tapi bojoku wis tebhal kabeh", jare Wonokairun.
"Lho kok isok?" jare Bunali.
"Sing pertama mati nguntal yuyu", jare Wonokairun
"Lha sing kedua?" takok Bunali
"Sing kedua mati nguntal yuyu", jare Wonokairun.
"Lha sing ketiga yo nguntal yuyu pisan?" jare Bunali kemeruh.
"Gak. Matine mergo tak gibheng", jare Wonokairun.
"Lho opoko ?" takok Bunali.
"Soale gak gelem nguntal yuyu . . ."


Wedhus

Bunali pethuk Wonokairun lagi angon wedhus.
"Mbah, waduh wedhus sampeyan akeh yo ?" jare Bunali
"Yo lumayan " jare si Mbah
"Pira kabehe, Mbah ?" takon Bunali maneh
"Sing putih opo sing ireng ?"
"Sing putih, wis"
"Selawe"
"Wik, cik akehe. Lha sing ireng?"
"Podho..." jare Wonokairun ambek ngarit suket
Bunali takon maneh. "Mangan sukete yo akeh pisan, Mbah.."
"Yo.."
"Pirang kilo mangane sakdino ?"
"Sing putih opo sing ireng ?"
'Sing ireng, wis'
"Yo kiro-kiro limang kiloan"
"Lha sing putih?"
"Podho . . ."( Bunali bingung, laopo lek ditakoni kok kudumbedakno sing putih tah ireng, wong jawabane yo podho ae )
"Mbah, opoko lek tak takoni perkara wedusmu, sampeyan mesti leren takon sing putih tah sing ireng barang. Padahal masiyo putih utawa ireng, jawabanmu podho terus. Sakjane ngono onok opo?"
"Ngene lho, sing putih iku wehusku..."
"Lha sing ireng ?"
"Podho . . ."

Kgkgkg...:)

07 Oktober 2008

Kembali Bersepeda, Kembali Berpijar

Men Sana In Corpore Sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

Dua minggu saya absen bersepeda, terasa sangat lama, terasa tidak sehat. Dua minggu ini jantung saya berdebar lebih cepat, perut membuncit, kulit pucat karena jarang terpapar matahari, ditambah lagi ketidakwarasan itu memperburuk kesehatan saya, dan saya meredup.

Penuh semangat untuk kembali sehat dan sehat, saya menerima ajakan bersepeda dua perempuan -Bu Budi dan Teteh Patra- yang sedang gila bersepeda.

Kembali Bersepeda

Pukul 05.15 WIB saya meninggalkan rumah, mengayuh sepeda ke Batuaji. Satu jam mengayuh sendirian, akhirnya saya bisa menyapa mereka di halte bus Pasar Sagulung. Morning ladies..., dan mereka tersenyum manis.
Perjalanan kami mulai, mengayuh sepeda melintasi Hutan Mata Kucing, Sei Harapan, Sekupang, dan akhirnya tiba di tempat tujuan kami, Kandang Rusa.
Sambil menikmati panganan Lebaran, kami melepas lelah. Rupanya kehadiran (dan makanan) kami menarik perhatian seekor rusa untuk mendekat. Jadilah pagi itu kami bertiga memberi makan rusa. Krutuk krutuk.. begitu bunyi makanan yang hancur digilas gigi-gigi si rusa jinak.

Selepas bermain dengan rusa, perjalanan kami lanjutkan ke Pasar Sei Harapan, mencari sarapan. Di pasar ini kami berputar-putar bingung memilih menu sarapan. Malas berputar lagi, malas bingung lagi, akhirnya kami memutuskan untuk menikmati Bakso dan Mie Ayam disamping sebuah toko kelontong. Toko ini mengingatkan saya pada Toko Sinar Harapan dalam Laskar Pelangi, toko yang penuh barang. Sepertinya pemilik toko seperti A Miauw, memiliki sakit jiwa no.28 yaitu menyimpan barang-barang tidak berguna. Meski dalam suasana hoarding toko serta ditambah tarian belatung dihadapan kami, sarapan kami pagi itu terasa nikmat.

Disela sarapan, sempat juga kami berbincang tentang perselingkuhan, ketidakpuasan laki-laki dan kebodohan perempuan. Ketika membahas kebodohan perempuan, Bu Budi berujar "Perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan, harus siap menyakiti". Aku menatap Teh Patra dan berujar "Kita tidak siap menyakiti kan?". Fyuh.., obrolan pagi yang melelahkan.

Matahari meninggi, bergegas kami mengayuh sepeda ke arah Tanjung Riau, dan berpisah di Simpang Base Camp. Sabtu pagi yang menyenangkan.

Pengkhianatan di Hari Minggu

Minggu pagi saya berjanji pada Bu Budi untuk menemaninya menjajal Jalur Neng. Tapi janji tinggal janji, janji diatas ingkar, saya mengkhianati janji. Berkhianat padanya dengan mengirim pesan pendek mengabarkan bahwa saya tidak bisa menemaninya bersepeda di Jalur Neng dengan alasan tidak enak badan, namun pada kenyataannya saya membuat janji lain, bersepeda ke Sei Ladi bersama Teh Patra.

Pengkhianatan itu menyenangkan, oh maaf Bu..
Tidak bisa dipungkiri, saya benar-benar menikmati Sei Ladi -jembatan dan dam-, kemudian mampir ke Pura dan menyempatkan diri bersujud syukur, yang ternyata dapat membuat saya merasa tenang.


Bu Budi, Teh Patra, dan saya

Kembali Berpijar

Kembali bersepeda membuat saya kembali berpijar. Merasa menjadi saya, merasa lebih sehat, dan merasa bahagia.
Bersepeda telah memberi warna dalam hidup saya, warna yang membaur berganti.

02 Oktober 2008

Rendang dan Cerminan Hati

Lebaran lagi, mudik lagi, berkumpul lagi, makan-makan lagi, ketupat opor rendang lagi. Tiga makanan diatas adalah sajian wajib saat merayakan hari kemenangan, Idul Fitri. Meski tidak berlebaran, tidak mudik, tidak berkumpul, namun tradisi ketupat opor rendang saya jalankan.

Saat gema takbir berkumandang dan kembang api menghiasi langit, saya berkutat di dapur. Memasak rendang. Potongan daging, bumbu jadi, santan, garam dan sedikit penyedap, saya pertemukan dalan sebuah wajan dan saya biarkan api menunaikan tugasnya.

Tengok, aduk, tinggalkan. Tengok, aduk, menambah santan, kemudian saya tinggalkan lagi. Begitu terus, berulang-ulang. Entah berapa kali menengok, mengaduk, menambah santan atau air, namun daging tak kunjung empuk. Tidak sabar dan mulai putus asa. Mulailah saya menyusun rencana-rencana gila; pertama, jika dalam satu tayangan sinetron daging tidak empuk, maka calon rendang ini akan saya gepuk (pukul) sehingga daging menjadi pipih seperti dendeng. Rencana kedua, daging rendang akan saya basuh dengan air untuk menghilangkan bumbunya, saya potong kecil, kemudian saya masak sop, sop daging eks calon rendang:)

Dalam satu tayangan sinetron saya menunggu. Tidak menengok, tidak mengaduk, tidak menambah santan, saya biarkan api bekerja. Tepat satu tayangan sinentron usai, saya mengintip ke wajan, santan telah susut, daging empuk, dan nampak seperti rendang di RM Padang.

Haru...
Bergegas menyendok nasi, mengambil potongan daging, dan memulai menikmati hasil karya.

Auw..., asin. Benar-benar asin. Jauh dari nikmat, tidak karuan.
Gagal, ya malam itu saya gagal memasak. Rasanya seperti pukulan, mengingat saya cukup pandai memasak.

Mengapa asin? Mengapa (rasa) tidak karuan?

Ibu saya pernah berkata bahwa (rasa) masakan mencerminkan suasana hati si pemasak.
Hmm... apakah suasana hati saya sedang tidak karuan (baca: tidak baik )?
Entahlah...
Yang pasti suasana hati saya tidak asin:)

Pelajaran berharga yang dipetik dari memasak rendang malam itu adalah bahwa dalam mengerjakan sesuatu (lebih-lebih memasak, lebih-lebih lagi memasak rendang) harus dengan ketenangan hati dan kesabaran (dan juga jangan percaya pada bumbu jadi, pastikan rasa garamnya).

Mari menenangkan hati dan bersabar diri.

Mari memasak rendang dan bercermin:)

29 September 2008

Pulang

Pulang kemana? Kalimat itu sering tergiang di kepala. Kalimat itu saya terjemahkan sebagai bentuk keresahan akan identitas saya yang "tercabut".

Pukul 14.00 WIB, terduduk pada bangku kayu disebelah AW Restaurant di terminal 2F, menunggu detik-detik kepulangan. Terasa dan terdengar aneh menyebut keberangkatan saya ke Batam dengan pulang. Aneh memang, memang aneh, tapi saya memang pulang, pulang ke Batam.

Kehilangan dan kebingungan

Sejak kepindahan mereka ke Bogor dua tahun yang lalu, saya merasakan kehilangan dan kebingungan. Kehilangan, karena saya tidak lagi bisa pulang ke rumah itu, saya benar-benar kehilangan rumah itu. Rumah tempat saya tumbuh, tempat merangkai kisah luar biasa, tempat yang membuat saya selalu ingin kembali (pulang). Dan saya juga merasa kebingungan, bingung karena mendadak saya harus mengatakan saya pulang ke Bogor atau saya pulang ke Jogja, saya tidak bisa lagi mengatakan saya pulang ke Bali.

Meski di Bogor dan Jogja ada rumah indah, ada keluarga yang penuh cinta, ada kisah bahagia, namun tetap terasa kurang pas mengatakan pulang. Terasa lebih pas mengatakan mampir ke Bogor, mampir ke Jogja. Di dalam hati saya, kata pulang hanya pas jika di pasangkan dengan Bali dan rumah itu. Pulang ke Bali, pulang ke rumah itu.

Tapi kini tidak ada lagi rumah itu, lalu saya pulang kemana?

Pulang Ke Batam

Sebuah telp membuka peluang bagi saya untuk menemukan kembali identitas yang tercabut. Telp itu mengantarkan saya pada Batam. Pulau, kota yang tidak pernah ada di benak saya untuk saya kunjungi apalagi tinggal dan punya rumah. Sebuah rumah, meski tidak seperti rumah itu, namun bisa membuat saya ingin kembali dan berkata, "Saya pulang, pulang ke Batam".

Detik-detik berlalu, dari bangku kayu saya beranjak menuju pintu F4 karena pukul 16.55 WIB seekor burung Garuda akan menerbangkan saya pulang.

I'm going back home.

Been There, Done That

Melalui 432000 detik dengan ketidakwarasan, memang sungguh sangat tidak waras. Terporosok atau lebih tepatnya memerosokkan diri ke suatu pilihan yang tidak waras.
Bahwa 432000 detik ketidakwarasan itu harus diakhiri.
Been there, done that.
Ketidakwarasan, done.

19 September 2008

Ketidakwarasan Padaku

Ketidakwarasan padaku
Membuat bayangmu selalu ada
Menentramkan malamku
Mendamaikan tidurku

Ketidakwarasan padaku
Membuat hidupku lebih tenang
Aku takkan sadari
Bahwa kau tak lagi disini

Aku mulai nyaman
Berbicara pada dinding kamar
Aku takkan tenang
Saat sehatku datang

Ketidakwarasan padaku
Selimut tebal hati rapuhku
Berkah atau kutukan
Namamu yang kusebut

Aku mulai nyaman
Berbicara pada dinding kamar
Aku takkan tenang
Saat sehatku datang

Luka hati akan mati
Jika jiwa terus menari dan bermimpi
Luka hati akan mati
Jika jiwa terus menari dan bermimpi

Ketidakwarasan padaku
Selimut tebal hati rapuhku
Aku takkan sadari bahwa kau tak lagi disini
Aku takkan sadari bahwa kau tak lagi disini

(So7)

Yang sedang tidak waras.



16 September 2008

SELINGKUH

Topik selingkuh sedang ramai di blogdetik, klik http://www.detik.com/.

Bahkan hampir setiap hari blog pilihan dan blog terbaru blogdetik bertemakan selingkuh, seperti hari ini berjudul "Ancaman Perselingkuhan".

Bukan cuma ramai di blog ternyata ramai terjadi pada orang-orang sekitarku. Mereka (laki-laki beristri) datang padaku dengan kisah hubungan mereka dengan perempuan lain.

Mengapa berselingkuh?

Entah, aku tidak mencari jawabannya dari para laki-laki itu. Karena pada dasarnya mendengar mereka bercerita tentang perselingkuhannya saja sudah cukup membuatku muak apalagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Yah, daripada membaca blogku yang ga jelas tentang perselingkuhan, silahkan berkunjung http://aneka-ragam.blogspot.com/2008/08/serong-sensasi-dan-masokisme.html, blog milik Sg.
Hindari selingkuh, Karena Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah, hehe..lagu banget.

Btw, mengagumi laki-laki beristri dan sering (saling) berkirim pesan singkat selingkuh bukan ya? Atau akan menjadi seperti blog pilihan hari ini, "Ancaman Perselingkuhan"?
Kgkgkg..:)

Tidak....

15 September 2008

Bengawan Solo

Bengawan solo, riwayatmu ini
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau tak sebrapa airmu
Di musim hujan air meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatmu dulu
Kaum pedagang slalu naik itu perahu
(Bengawan Solo, Gesang)

Lelah.
Kepalaku sedang bekerja seperti tape, yang memutar kaset lagu Bengawan Solo selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa henti.
Kuputar lagi, lagi dan lagi...
Kala itu kutanyakan interpretasinya pada lagu ini, dan jawabnya singkat: kangen.
Hari-hari belakangan ini, mungkin juga esok dan esoknya lagi, aku merindukannya.
Bengawan Solo padanya.

05 September 2008

Dalam Bis: Mengamati dan Mencuri Dengar

KE kantor tidak lagi bersepeda, kini dengan bis. Menggunakan bis pada jam yang sama dari Senin s.d Jumat, membuatku bertemu dengan orang-orang yang sama.

Mbak Perawat
Di halte Kara aku akan bertemu mbak perawat yang memakai sepatu plastik plus kembang, mirip sepatuku. Mbak ini turun di halte Kampus, namun sampai sekarang aku belum menemukan rumah sakit atau klinik disekitar halte itu.

Ibu PNS
Yang menarik dari ibu ini adalah tas yang hampir tiap hari berbeda dan selalu dari merek mahal.

Mbak Cuek (seperti cuek dan ulekan ya?)
Pakaian yang dikenakannya selalu menarik. Pagi ini dia menggunakan jeans, kemeja hitam, syal putih, tas hitam dan sepatu putih. Yang tidak menarik adalah si mbak tidak pernah mengucapkan terima kasih pada supir bis saat dia turun di halte Tembesi.

Mbak (belagak) Sexy
Nah yang ini, weh weh... Setiap hari menggunakan rok -bentuknya bermacam-macam, ada yang super ketat, berbentuk A, berumbai-rumbai dibagian bawah, kadang yang belahannya sampai setengah paha-, sepatu hak tinggi, dan kuku-kunya dipoles menggunakan cat kuku yang bergliter.
Sebentar-sebentar dia merapikan rambutnya, menyisir, mengikat, kemudian digerai lagi, merapikan dengan jari, seperti orang yang obsesive-compulsive.
Pagi ini aku mengamati dan menghitung gerakan merapikan rambut, dalam 3 menit dia melakukan gerakan menyisir dengan jari sebanyak 16x, belum termasuk merapikan poni.

Dan ternyata Mbak Cuek n Mbak Sexy saling mengenal, suatu pagi mereka saling menyapa.
Mbak Sexy berkata, “Hi Djeng, pa kabar lu?”. Belum mendapat jawaban dia berkata lagi, “ Gw n orang kantor mo ke Pinang 30 Sept ini, lu ikutan ga?”
Mbak Cuek menjawab, “Gw ga libur”
(aku menulis percakapan mereka dengan gaya kaku Christoper, tokoh Insiden Anjing Di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran)
Isi percakapannya ga aneh, tapi yang terdengar asing adalah penggunaan gw-lu. Di Batam orang akan menggunakan aku-kau, aku-dikau, aku-awak, saye-awak, bukan gw-lu.

Ah sudahlah terlalu banyak mengamati dan mencuri dengar membuatku makin gila.

Dalam bis, lebih baik menatap langit di kaca jendela.
Tapi kebanyakan menatap langit membuatku kebablasan pagi ini.
Wkwkwk...GJ:)



Sapedah | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id