02 Oktober 2008

Rendang dan Cerminan Hati

Lebaran lagi, mudik lagi, berkumpul lagi, makan-makan lagi, ketupat opor rendang lagi. Tiga makanan diatas adalah sajian wajib saat merayakan hari kemenangan, Idul Fitri. Meski tidak berlebaran, tidak mudik, tidak berkumpul, namun tradisi ketupat opor rendang saya jalankan.

Saat gema takbir berkumandang dan kembang api menghiasi langit, saya berkutat di dapur. Memasak rendang. Potongan daging, bumbu jadi, santan, garam dan sedikit penyedap, saya pertemukan dalan sebuah wajan dan saya biarkan api menunaikan tugasnya.

Tengok, aduk, tinggalkan. Tengok, aduk, menambah santan, kemudian saya tinggalkan lagi. Begitu terus, berulang-ulang. Entah berapa kali menengok, mengaduk, menambah santan atau air, namun daging tak kunjung empuk. Tidak sabar dan mulai putus asa. Mulailah saya menyusun rencana-rencana gila; pertama, jika dalam satu tayangan sinetron daging tidak empuk, maka calon rendang ini akan saya gepuk (pukul) sehingga daging menjadi pipih seperti dendeng. Rencana kedua, daging rendang akan saya basuh dengan air untuk menghilangkan bumbunya, saya potong kecil, kemudian saya masak sop, sop daging eks calon rendang:)

Dalam satu tayangan sinetron saya menunggu. Tidak menengok, tidak mengaduk, tidak menambah santan, saya biarkan api bekerja. Tepat satu tayangan sinentron usai, saya mengintip ke wajan, santan telah susut, daging empuk, dan nampak seperti rendang di RM Padang.

Haru...
Bergegas menyendok nasi, mengambil potongan daging, dan memulai menikmati hasil karya.

Auw..., asin. Benar-benar asin. Jauh dari nikmat, tidak karuan.
Gagal, ya malam itu saya gagal memasak. Rasanya seperti pukulan, mengingat saya cukup pandai memasak.

Mengapa asin? Mengapa (rasa) tidak karuan?

Ibu saya pernah berkata bahwa (rasa) masakan mencerminkan suasana hati si pemasak.
Hmm... apakah suasana hati saya sedang tidak karuan (baca: tidak baik )?
Entahlah...
Yang pasti suasana hati saya tidak asin:)

Pelajaran berharga yang dipetik dari memasak rendang malam itu adalah bahwa dalam mengerjakan sesuatu (lebih-lebih memasak, lebih-lebih lagi memasak rendang) harus dengan ketenangan hati dan kesabaran (dan juga jangan percaya pada bumbu jadi, pastikan rasa garamnya).

Mari menenangkan hati dan bersabar diri.

Mari memasak rendang dan bercermin:)

8 komentar:

Anonim mengatakan...

kata orang, kalo masakannya asin berarti yg masak sedang pengen kawin. nah loh kawin yg mana maksudnya? hehehehe

ayu mengatakan...

asin yang ini ga seperti "kata orang'. ini murni kesalahan menggarami, weleh..

Anonim mengatakan...

oh,kau menjadi wanita dewasa yang gema memasak asin. ayo ijah,kita kawinkan picin dengan lelaki. gak ada nenas rambutan pun jadi

ayu mengatakan...

Nenas ternyata ga baik buat kesehatanku, nenas beracun dan nenas muda bikin sakit.
Duku aja deh:)

Anonim mengatakan...

Nama 'nanas' berasal dari sebutan orang Tupi untuk buah ini: anana, yang bermakna "buah yang sangat baik"(wikipedia)
kalau nanas beracun berati sangat baik untuk meracuni dan nampaknya diracuni atau meracuni diri sendiri tidak baik untuk kesehatan. lho ke nenas....asin dan ingin kawin hanya mitos seperti jembatan gantung....tapi nampaknya bu nenas perlu kawin (nikah....) selamat mencari duku... jangan lupa kirimi undangan (kiriman duku satu kantung cukup sebagai pertanda undangan..ha...ha..., duku (p)alembang terkenal manis)

ayu mengatakan...

Maaf kiriman duku dikembalikan lg dgn alasan alamat yg dituju tidak jelas

ayu mengatakan...

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Anonim mengatakan...

kok jadi rumit to persoalan nenas dan asin ini. tiba2 ada duku. "D"-uku darimana pula ini nyom?
*perlu penjelasan ttg D selain D-W*

Posting Komentar | Feed



Sapedah | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id