07 Mei 2008

Aku dan Batam

WAKTU bergulir begitu cepat, setahun sudah menjejak Batam. Batam yang penuh geliat pembangunan, tempat bermimpi dan berjuang untuk penghidupan yang lebih baik, ramai hiruk pikuk industri dan buruhnya, serta gairah malam yang sesak kenikmatan.

Dari yang hanya sebuah pulau kecil menjadi sebuah KOTA, penduduk Batam pun "terkejut". Layaknya anak kecil yang dipaksa menjadi dewasa dengan melewatkan beberapa tahap perkembangan, Batam kemudian menghadapi berbagai masalah.
Tapi biarlah itu menjadi masalah mereka, karena antara aku dan Batam memiliki masalah sendiri yang datang dan pergi dan belum terselesaikan.

Berikut beberapa kisah yang menggambarkan apa yang terjadi antara aku dan Batam:

Kisah pertama: Istri Apek Singapore
Diawal kedatanganku, saat membeli makanan (gorengan), si penjual bertanya tentang daerah asal dan pekerjaan, mungkin karena wajahku masih asing di lingkungan itu. Pertanyaan tentang pekerjaan kujawab hanya dengan senyum.
Ternyata senyumku diintepretasikan berbeda. Pertanyaan (dan sekaligus tuduhan) yang meluncur berikutnya adalah "Jadi sampeyan bojone wong Singapore?". Tidak kujawab dan berlalu dengan tanda tanya.
Beberapa hari kemudian kutemukan fenomena bahwa banyak sekali perempuan yang menikah ato "menikah" dan menggantungkan hidupnya dengan apek (sebutan untuk laki-laki tua chinese) Singapore.
Jika aku tahu sejak awal, maka akan kujawab tegas pertanyaan sekaligus tuduhan penjual itu.

Kisah kedua: Papi
Lagi-lagi dengan penjual makanan. Ketika membeli roti, aku meminta saran mengenai roti yang enak dengan ukuran kecil pada abang penjual.
Abang roti : Roti yang kecil, takut gemuk ya?
Aku : Mungkin iya
Abang roti : Takut dimarahin "papi" ya klo gemuk? (dengan ekspresi wajah mesum)
Aku : (maksud loh??)

Kisah ketiga: Check In
Dari seberang tempat aku berdiri tampak deretan taxi dan pengemudinya yang berteriak menawarkan jasanya padaku. "Taxi Kak?", aku menggeleng karena memang aku tidak membutuhkan taxi. Gelengan kepala tidak membuat mereka puas, kemudian salah seorang dari mereka berteriak "Janji check in dihotel mana?" dan semua sopir taxi yang ada disana tertawa.

Oh...

Jika Batam menuduh dan melecehkanku, ternyata Batam pun tidak lepas dari tuduhan. Suatu ketika Nai pernah bercerita bahwa temannya yang warganegara Singapore menyebut Batam sebagai "Kota Haram" dan dia tidak ingin menginjakkan kaki di Batam. Menurutnya Batam hanyalah kota wisata seks.

Hmm...??

Setelah kisah-kisah diatas dan beberapa kisah lain yang tidak kutuliskan, tidak membuatku berniat meninggalkan Batam. Bahkan mungkin hatiku sudah terpaut dengan kota ini.

Kata seorang teman kala aku sedang tidak berhasrat pada Batam, "Dibikin gairahlah, sayang dilewatkan, secara Batam gitu.."

Ya.., ini Batam Nyom!

2 komentar:

Zulfakar mengatakan...

Mbak Ayu,
Nggak ada yang salah dengan batam, mungkin penghuninya kali ya.., bukan bermaksud membela tanah kelahiran saya, kebetulan emang saya di lahirkan disini, lokasi persisnya sekarang hotel novotel, menurut saya batam seperti super mega mall, mau apa aja ada.. tergantung kita punya duit berapa dan mau beli apa, maksudnya duit berarti tergantung kemampuan yang kita miliki, nah dengan kemampuan tsb mungkin kita bisa memiliki yang kita butuhkan , beda ditempat lain, mungkin kita punya duit, tapi nggak ada yang jualan,ya layaknya kota metropolitan dibalik hal yang positif juga tersimpan sejuta hal yang negatif,...

ayu mengatakan...

Kebetulan saya berhadapan dengan "hal yang yang negatif" Pak
:(

Posting Komentar | Feed



Sapedah | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id